Setelah beberapa kali cancel, Alhamdulillah malam itu kami janjian di seberang stasiun Kota Baru Malang. Sebenarnya kami semua dari Malang, tapi untuk meet up saya sengaja memilih tempat ini. Biar kesannya seperti orang dari luar kota gitu, hehe… Biasanya saat menjemput tamu wisata, meeting point juga disekitaran stasiun. Jadinya biar berasa lebih semangat. Olalaaaa, hehe…
Salah satu gradasi warna langit saat sunrise di Panderman (dok.pri)
Berboncengan dengan 2 motor kami segera menuju Batu, menempuh perjalanan 1 jam. Sayangnya ditengah jalan, seorang teman urung ikut nanjak ke Gunung Panderman. Karena mendadak ada tugas meliput. Walahhh…
Halangan pertama teman yang cancel mendadak, bisa dimaklumi. Ehhh… datang hambatan kedua, ban motor tetiba bocor. Alhamdulillah bocornya tak jauh dari gerbang wisata Panderman. Tepat di Jalan Sakura Pesanggarahan Batu, kami bertemu seorang teman yang juga mau bergabung. Nah gak lama ban sudah oke ditambal, kami berempat langsung menuju ke desa Toyomarto, desa terakhir sebelum Gunung Panderman.
Siap nanjak (dok.pri)
Bismillah, semoga tidak ada halangan lagi. Demikian saya membathin dengan doa yang selalu terucap. Saya, putriku yang berusia 13 tahun, Mba Intas dan Mas Febri, dengan niat dan semangat memenuhi keinginan ke Panderman yang beberapa kali tertunda.
Awal Nanjak Sebelum Bener-bener Nanjak Panderman
Karena motor kami berjenis matic, oleh warga setempat disarankan untuk parkir di bawah. Yakni di desa sebelum jalan menuju gerbang loket (cek point) Panderman. Menurut salah seorang warga demi keselamatan diri. Sebab rutenya berbahaya untuk jenis matic. Jadinya kami memarkir motor dengan biaya nitip 10rb.
Malam pukul 22.30 WIB. Untuk menuju desa Toyomarto desa terakhir harus berjalan dulu kurang lebih 3 KM. Jalan yang terus nanjak dan berkelok tajam. Awalnya ditawari untuk naik ojek berbayar 10rb. Sekalian warming up jadi kami menolak dengan halus. Bergegas kami menembus gelap dan dinginnya malam. Mungkin saat itu kalian sudah pulas dalam mimpi yaa, hehe…
Sedikit terengah saya pemirsah..Karena baru melangkah 50 meter dari tempat parkir, kami kudu nanjak dengan kemiringan jalan 50 derajat. Dan itu terus nanjak! Melewati jalan yang ber-hotmix, mulus tapi climb up n climb up.
Saya baru nyadar, kalau hanya rombongan kami yang meniti jalan nanjak ini. Beberapa kali ojek bersliweran dengan deru motor yang sedikit ngotot, membawa pengunjung yang ingin mendaki Panderman. Bahkan ada rombongan yang naik pick up menyalip kami yang terpaksa menghentikan langkah, memberi kesempatan mobil untuk lewat. Jalan yang sempit memaksa saya untuk rehat sekian detik saat ada motor atau mobil lewat. Tapi lumayan ahhh…modus rehat, wkkkwkkk..
Sementara jauh dibawah terlihat pemandangan yang indah. Kerlip lampu rumah penduduk dikejauhan bagai kunang-kunang di kegelapan. Itu kota Batu. Kami pun bernarsis dengan latar gemerlap lampu itu. Kalau saya sih terus terang modus lagi. Hihi…modus untuk rehat, bonus lagi…Sik asyikkk…
Semakin nanjak semakin dingin dan sepi! Saya hanya berdoa dan berpasrah dengan terus mengikuti jalan yang semakin naik. Tak saya hiraukan cerita orang-orang di tempat parkir tentang korban kecelakaan yang terjadi sepanjang jalan yang kami lewati. Menurut mereka kasus kecelakaan yang berujung kematian kerap terjadi karena tak menguasai medan jalan. Pokoknya kami semangat maju dan tak lupa tentu bertumpu pada trackpole. Sangat membantu saya untuk keseimbangan.
Semakin jauh berjalan tak ditemukan lagi rumah penduduk. Hanya angin yang terus mendesau pelan dan lama kelamaan bertiup kencang. Tiba di suatu villa ada bonus jalan datar, kami menghentikan langkah. Sudah tak terlihat lagi sliweran tukang ojek. Wahhh tinggal kami saja di jalur jalan yang gelap. Sambil berusaha membuang sepi kami guyon. Anin putri saya bertanya,” masih jauh ya Ma?”
“Kita baru jalan separuh mba untuk tiba di loket gerbang, semangat yaa,” hiburku. Putriku baru kelas 8 tapi beberapa kali ikut berpetualang. Awal ikut saat masih SD kelas 5 bareng Komunitas Rainbow Mommy mendaki sebuah bukit di Purwokerto. Kemudian di Budug Asu di ketinggian 2000 mdpl di kaki Gunung Arjuna dan yang lainnya. Saat ada ajakan ke Panderman dengan antusias putri saya menerimanya.
Tak berapa lama muncul motor dari arah atas. Mas ojek menawarkan jasanya. Terjadilah tawar menawar. Kesepakatan hanya membayar separo harga karena sudah separuh perjalanan, hehe.. Jadilah kami berempat diangkut ojek bergiliran. Waaawww….ternyata masih jauh dan harus melewati perkebunan yang gelap. Pantesan diantara srkian banyak pengunjung semua naik ojek, olalaaa ya karena jauhhh dan nanjak…
Saran saya kalau kalian ingin nanjak ke Panderman sebaiknya naik ojek dari parkir bawah menuju parkir atas. Itu kalau motor kalian berjenis matic. Oya kenapa ada yang boleh memarkir motor di atas yang letaknya di gerbang loket? Yah hanya untuk motor selain matic bisa “lolos” dari parkir bawah. Dan kenapa harus ngojek? Tentu untuk menghemat tenaga. Mending tenaga disiapkan untuk nanjak ke Panderman.Gak rugi kok keluarin kocek 10 rb, hehe…
Memulai Perjalanan Panjang Dalam Gelap Ke Puncak Panderman
Tiba di pos loket Panderman waktu menunjuk pukul 23.00 WIB. Setelah membayar tiket 10rb per orang kami menyusuri jalan setapak. Tentunya usai berdoa. Tampak sekeliling gelap hanya jalan setapak yang agak terang oleh lampu senter kami. Terdengar suara gemericik air menemani langkah-langkah yang beraturan. Saya cuma bisa membayangkan airnya pasti bening dengan tetumbuhan sayur yang menghijau.
Tiket masuk ke Panderman (dok.pri)
Bersama kami ada rombongan anak sekolah dari Kepanjen. Kami yang dari awal mendaki tanpa target waktu, mempersilahkan mereka untuk jalan duluan. Lagi-lagi gelap menemani kami. Yaa jelaslah…mana ada hutan di malam hari terang? Hehe…Yang pasti sepanjang jalan kami berucap salam dan beristigfar untuk keselamatan kami
Sebagai pemula, kami ingin melalui jalan yang tak ekstrim. Sebelumnya
saya sempat googling kalau ada 2 jalur pendakian ke Panderman. Yakni jalur yang umum tak ekstrim namun lebih panjang dan memakan waktu 3-4 jam. Melewati jalur umum ini kita akan melewati pemandangan gunung dan hutan yang menghijau. Juga melewati kebun tebu yang entah ditanam warga atau tumbuh sendiri.
Sedangkan jalur satunya adalah jalur Curah Banteng. Jalur ini tidak disarankan untuk pendaki pemula karena akan menemui jalur yang sulit serta menanjak tanpa bonus. Bahkan saat saya googling, lewat Curah Banteng ini akan melewati jalur dengan kemiringan nyaris 90 derajat. Jalur hanya bisa dilewati dengan cara memanjat.
Malam itu meski tak melalui jalur Curah Banteng, tapi trek yang kami lewatu cukup ekstrim! Woowww….sungguh kalau pas nanjak siang, mungkin kami bisa melihat seperti apa trek nya. Dalam keadaan gelap dan sedikit berdebu, kami nanjak dengan merangkak melewati bebatuan. Ya ampuunn…kami hanya berusaha jalan dan mengikuti arah. Peluh bercucur… Eh padahal hawa dingin yaa…Kalah lho sama geliat dan tingkah polah kami yang mengendap dan sedikit nungging menghindari lancipnya bebatuan. Beruntung kami semua memakai kaos tangan. Awalnya untuk menahan dingin, tapi belakangan untuk melindungi telapak tangan agar tak tergores batu.
Kurang lebih 1 jam berjalan dari loket cek point kami tiba di pos 1 yakni Latar Ombo di ketinggian 1300 mdpl. Di Latar Ombo ini ada beberapa tenda yang didirikan. Tanah datar itu tak begitu luas sebagau area ngecamp pendaki. Kami saling bertegur sapa layaknya saling kenal. Yah begitulah saat bertemu sesama “pengunjung” Panderman atau gunung lainnya, biasanya saling suport dan menyemangati.
Seperti malam itu salah satu dari anak SMA Kepanjen ada yang sakit. Wajahnya pucat dan muntah-muntah. Sepertinya masuk angin dan kecapekan. Hingga perjalanan kami berempat pun terhenti untuk menolong anak yang sakit tadi. Memijat dan membaluri tubuhnya dengan minyak kayu putih. Bahkan meminjamkan kompor dan nesting untuk membuat minuman jahe hangat. Alhamdulillah tak berapa lama anak SMA itu kuat kembali. Yahhh… modus waktu rehat habis hihi…Semangat jalan nanjak lagi…
Pemirsah….menuju Panderman banyak jalan bercabang. Kudu membelalak mata melihat petunjuk. Ada yang menggunakan pita ada juga tanda panah yang ada di batang pohon. Disuatu jalan yang menanjak, waktu menunjukkan pukul 24.30 WIB kami berempat mendapati jalan yang bercabang lagi. Masih tergiang saat di pos cek point, bapak penjaga loket mewanti-wanti agar teliti membaca petunjuk supaya tidak kesasar. Mas Febri yang berada di posisi belakang bergantian dengan Mb Intas. Kami bertiga di bawah sedang Mas Febri mengecek jalan karena tak kami dapati petunjuk.
Saat Mas Febri nanjak sendiri, Mba Intas merasa ada sesuatu di belakangnya. Hihhhh…sedikit horor yaa. Seperti ada yang berdiri di belakangnya, padahal kita bertiga dengan formasi di posisi depan saya, tengah putri saya dan belakang Mba Intas. Takut gak yaa Mba Intas? Sambil terus istiqfar dia berusaha menyorot arah belakang yang memang gelap. Hihhhhh….
Sekitar 5 menit Mas Febri muncul dan memberi kode untuk melanjutkan perjalanan yang semakin menanjak. Tak ada rasa kantuk dan dingin, yang ada hanya rasa ingin segera tiba di puncak. Padahal pos 2 Watu Gede pun belum terjamah, hehe…
Menempuh jalan nanjak dari pos 1 ke pos 2 Watu Gede selama hampir 1 jam. Ditandai dengan batuan besar yang ada di pos 2 dengan ketinggian 1730 mdpl. Disini juga ada pendaki yang ngecamp tapi hanya beberapa saja karena lahan datarnya juga tidak begitu luas. Dalam hati saya bersorak, pasti tak lama lagi sampai di puncak Panderman.
Ternyata masih harus berjuang lagi. Ya Allah…sudah hampir 3 jam kami menyusuri jalan yang berdebu dan nanjak, melewati gelapnya malam. Menembus dinginnya hawa gunung yang tak terasa, karena fisik kami terus bergerak. Hanya terlihat bayangan teman seperjalanan dan jurang di kanan kiri jalan setapak. Selebihnya hanya gelap dan desau nafas kami yang tertahan.
Btw menurut informasi dari pos 2 menuju puncak hanya ditempuh dalam 30 menit. Itu normalnya. Tapi kalau langkah slow seperti langkah saya, bisa mencapai 1 jam. Hehe…Tapi jalannya yang ditempuh lebih ekstrim. Semakin mendekati puncak semakin medannya amazing, kemiringannya 80 derajat. Juga berbatu dengan kontur tanah seperti pasir. Licin pasti!
Watu Gede tampak siang hari (dok.pri)
Saat kami berusaha nanjak di bebatuan tampak 2 orang menyambut kami. Ahaaa..
rupanya teman Mas Febri. Alhamdulillah…dari atas ada 2 orang yang menarik kami satu per satu. Sedangkan 2 orang lainnya tampak berdiri. Hati saya jadi lega berarti rombongan bertambah jadi total 8 orang. Kami rehat sambil mendekati api unggun yang tengah menyala. Logistik pun keluar, ada yang makan nasi, roti, minum dll. Lelah sedikit menguap. Tak lama kami mengamankan lokasi untuk memadamkan api dengan air yang ada. Saat kami siap untuk melanjutkan perjalanan, spontan saya bertanya,”Lho mas yang satunya mana ya? Tadi kan mas berempat?”
Mas Febri menjawab,”lha kan dengan saya jadi cowoknya berempat bu, hehe” Tapi bener lho tadi saya lihat 4 orang yang bergabung. Akhirnya kami bertujuh melanjutkan perjalanan. Dalam hati saya bertanya-tanya sosok yang satu lagi siapa? Kok tahu-tahu menghilang begitu saja. Dan tanya itu sampai sekarang belum terjawab! Kalaupun ada “penyusup” dari dunia lain, yang pasti tidak menganggu kami. Karena niat kami ke Panderman baik, hanya ingin melihat alam dan sunrise lepas subuh nanti.
Sunrise Panderman yang Sungguh Memukau
Perjalanan panjang selama 3,5 jam yang cukup melelahkan berakhir. Kami tiba di Puncak Panderman yang berjuluk Basundara tepat pukul 02.30. Rasanya ingin segera merebahkan diri di dalam tenda. Hehe…tapi kudu nunggu tenda didirikan. Yahh.. beruntung Mas Febri dkk tanggap dan cekatan. Tak lama tenda berdiri dan kami bertiga pun langsung rebahan.
Puncak Basundara (dok.pri)
Langsung memejam mata? Owhh tidaakkk…hawa di puncak dingin dengan temperatur 14 derajat celcius. Saya tak mampu memejamkan mata dengan lelap, kuatir melewati saat sunrise. Jadi hanya ngulur boyok, haha…Bahasa Indonesia nya yaa rebahan gituu…
Selepas waktu subuh, saya beranjak keluar tenda. Dingin menggigit kulitku. Gemeretak gigi karena kedinginan tak kuhiraukan. Di puncak Panderman banyak yang ngecamp. Ditengah-tengah tenda yang betebaran tampak tiang bendera Merah Putih. Berjarak sejengkah ada papan bertuliskan Basundara Mt Panderman 2000 mdpl. Ya Allah akhirnya saya bisa menapak langkahku di puncak Panderman.
Banyak tenda di Puncak Panderman (dok.pri)
Panderman asal muasalnya dari nama seorang Belanda yang bernama Van Der Man. Konon dari cerita yang berkembang, dulu Van Der Man orang pertama yang bisa naik hingga puncak dan begitu menyukai view di gunung tersebut pada jamannya. Hingga nama gunung itu akhirnya berjuluk gunung Van Der Man (lidah Jawa menyebut Panderman). Hingga sampai sekarangpun bernama Gunung Panderman yang secara administratif masuk wilayah dukuh Toyomarto, Pesanggaragan, Batu.
Keindahan alamnya saya buktikan sendiri pagi itu. Masih pukul 04.45 di ketinggian 2000 mdpl, saya benar-benar takjub. Subhanallah..tak berkesudahan saya menyebut asma-MU. Allahu Akbar…sejauh mata memandang terlihat langit yang berwarna amazing. Gradasi warna yang Kau cipta sungguh sempurna.
Cantiknya gradasi lukisan Allah (dok.pri)
Jujur baru kali ini saya melihat warna langit yang demikian indah. Meski tak sampai menikmati golden sunrise tapi cukup puas mendapat picture yang luar biasa. Ya Allah terima kasih atas kemurahanMU memberi sehat pada saya. Rasanya segala dingin dan lelah semburat menguap saat melihat keajaiban sunrise di puncak Basundara yang elok.
Siluet berlatar langit yang cantik (dok.pri)
Puas jepret sana jepret sini, narsis sana narsis sini, pukul 08.00 WIB meski hanya memejam mata sekelebatan saja, kami bertiga turun. Kok bertiga? Yaa karena Mba Intas agak sakit kakinya, sementara rehat. Sedangkan saya mengejar acara Malang Flower Carnival siang nanti. Mba Intas bersama rekan-rekan yang lain, agak siang bakal turun.
Mas Febri dkk sangat baik dan sabar. Mereka bertanggung jawab atas anggota tim yang dipandunya. Saya yang secara umur hampir kepala 5 kurang setahun pun merasa nyaman jalan bareng mereka. Perhatian dan saling membantu satu sama lain. Capek satu dan rehat, rehat semua. Tak ada rasa ingin mendahului. Kompaklah pokoknya. Bahkan sebelum turun dan berpisah, 3 temannya menawarkan jalan bareng ke Semeru. Boleh pilih sampai Ranu Kumbolo atau Summit. Hehe…kalau saya sudah 2 kali ke Rakum tapi gak bosan, kalau summit saya tahu diri dengan kemampuan. Haha….
Bertemu Banyak Kera Jinak
Saya, putriku dan Mas Febri turun. Rasanya langkah terasa ringan. Wooww ternyata baru terlihat jalan menukik yang semalam kami lewati. Tanah yang berdebu pun masih nampak beterbangan. Bekas jejak langkah pendaki yang turunpun masih tampak jelas.
Semalam yang tak nampak saat turun terpampang semua. View gunung Welirang dan gugusan gumung Putri Tidur tampak dari kejauhan. Hutan yang rimbunpun menghijau, membuat mata jadi segar. Hutan pinuspun terlewati. Pokoknya siang itu puas dan jelas. Haha…
Di sepanjang jalan turun kami menemui banyak gerombolan kera. Suaranya yang khas membuat kami melongokkan kepala mencari sumber suara. Ahaaaa…kera-kera itu bergelayutan diantara pepohonan. Kami masih memiliki bekal, giliran berbagi dengan kera-kera yang lucu. Mereka saling berebut, hehe..
Melewati pos 2 di Watu Gede. Amboiii semalam kami melewati sisi-sisinya. Buat kenang-kenangan kami pun narsis di ketinggian 1730 mdpl. Wooww gede lho batunya. Perjalanan pulang lebih santai tak berbeban. Selain jalannya turun juga beban bekal sudah habis, termasuk air minum.
Melewati kebun tebu yang tumbuh tak beraturan, Mas Febri berinisiatif untuk mengambil batang tebu. Dan kami bertiga menyesap air tebu pengganti air untuk pelepas dahaga. Wooww Mas Febri memang luar biasaaa. Saya acungi jempol dah. Sayangnya pas kita bertiga saling menggerogoti tebu, memori hp saya full jadi tak bisa mengabadikan keseruan kami yang berusaha survive di alam terbuka.
Rasanya berkesan banget perjalanan ke gunung Panderman. Hanya ada suka yang tak mungkin terlupa, meski ada acara horor-hororan. Sampai kini masih ada tanda tanya besar, siapakah seorang penyusup saat malam di bebatuan mendekati puncak Panderman? Tapi yang pasti saya tak kapok untuk menjelajah dan mendaki gunung lagi….(15-16/9/18)