Siang hari itu teramat terik. Malang yang dulu berhawa dingin seperti menguap berganti panas. Di pelataran parkir Museum Brawijaya seorang bapak berumur 70 tahun tampak sibuk dengan sebatang tebu berwarna hijau. Bersama motor “bergerobak” bapak yang sudah sepuh itu masih giat mengais rejeki
Dengan pisau besar yang biasa disebut “parang”, lelaki tua itu mengupas tipis kulit tebu. Kemudian dia masukkan ke lubang mesin yang dihubungkan pada sebuah selang. Lewat saluran itulah mengalir air tebu alami yang manis. Air tebu asli manis tanpa gula. Berwarna hijau muda ditambah potongan es, terasa segar melewati tenggorokan yang kering.
Pak Pardi dan Mesin Penggiling Tebu (dok.pri)
Hmmm…segar sekali. Harganya satu gelas atau satu kantong plastik hanya 3500. Harga yang cukup terjangkau untuk minuman yang diproduksi langsung di depan konsumennya. Rasa tebu yang khas itu betul-betul mampu menghilangkan rasa haus.
Tebu Bukan Sembarang Tebu
Adalah Pak Supardi si penjual Es Tebu murni yang mangkal di halaman parkir dalam Museum Brawijaya. Menurutnya menjadi penjual es tebu sudah dilakukannya hampir 10 tahun. Namun penghasilanya tak menentu tergantung dari cuaca. Hmm betul juga sih. Kalau hujan otomatis kan gak banyak orang yang beli. Apalagi berjualan di area yang notabene bukan tempat ramai. Namun demikian Pak Supardi tetap menekuni pekerjaannya.
Untuk bahan bakunya, beliau mendapat tebu hijau dari Tulung Agung sebuah kota berjarak kurang lebih 100 km dari Malang. Meski harga tebu hijau lebih mahal dari tebu Malang, tapi tetap Pak Supardi membelinya. Memang harganya berapa sih? Pak Pardi demikian sapaannya, mengaku kalau harga tebu hijau 100 ribuan per ikat besar sedangkan tebu Malang hanya 40 ribuan.
Tebu Hijau (dok.pri)
Alasannya memilih Tebu Hijau meski mahal karena warnanya hijau lebih segar dan menarik. Kalau yang tebu dari Malang menghasilkan air tebu berwarna kecoklatan. Demi pelayanan produksi air tebu yang baik, sehingga Pak Pardi lebih memilih Tebu Hijau dari Tulung Agung.
Pembeli Sepi Tetap Bertahan
Selama 10 tahun berjualan es tebu, Pak Pardi sudah 4 kali berganti mesin penggiling tebu
Menurutnya, dia tak mampu membeli mesin yang handal buatan Eropa. Saat ini mesin yang digunakan adalah produksi Cina, murah dan kualitasnya tidak bisa bertahan lama. Setidaknya 2-3 tahun harus ganti mesin.
Meski pendapatan tak pasti, beliau harus tetap berjuang demi asap dapur tetap mengepul. Tetap berusaha menikmati pekerjaannya dari waktu ke waktu. Berharap rejeki dari pengunjung museum Brawijaya yang berlokasi di Jalan Ijen 25 Malang. Tetap setia menggiling batangan tebu hijau, menawarkan es tebu sebagai pelepas dahaga.
Nah kalau ada waktu, bolehlah sekali waktu berkunjung ke tempat Pak Pardi mangkal. Menikmati es tebu yang nikmat hanya dengan merogoh 3500. Dan bila telah terobati hausnya, bisa dilanjut jalan-jalan melihat benda-benda bersejarah di Museum Brawijaya.
Intas salah satu pembeli Es Tebu Hijau (dok.pri)
Salah seorang pembeli es Tebu Hijau, Intas mengaku, mampir ke tempat mangkal Pak Pardi karena terik hingga kehausan. Tertarik dengan warna hijau es tebu yang segar menggoda, akhirnya memesan. “Segar banget rasanya dan manisnya alami lho, karena tadi langsung menggiling. Jadi tanpa tambahan pemanis buatan.” ujarnya.
Yukk… satu area dua tujuan bisa dikunjungi, Museum Brawijaya dan Es Tebu. Dan Pak Pardi pun masih setia menunggu dengan es tebu hijaunya. Tetap semangat ya Pak…!
#ODOP
#estrilook community
#day4